ALUMNI S1 DAN S2 NON PENDIDIKAN BISA DAN BOLEH JADI GURU ATAU DOSEN



ALUMNI S1 DAN S2 NON PENDIDIKAN BISA DAN BOLEH JADI GURU ATAU DOSEN
(Pengumpul Materi: Moh. Dliya`ul Chaq)

Masyarakat Indonesia tergolong sebagai masyarakat yang cinta ilmu. Hal ini terbukti dengan banyaknya lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, sekalipun lembaga tersebut dinilai kurang layak baik dari sisi manajemen maupun sarana dan prasarana sebagaimana di daerah tertinggal. Problem dunia pendidikan di Indonesia tidak mungkin dapat terhindari begitu saja.
Evaluasi dan perbaikan terus dilakukan oleh pemerintah dan stakeholder. Termasuk terkait problem tentang pendidik dan tenaga kependidikan. Sebelum tahun 2005, pandangan masyarakat dulu dan sistem pendidikan di Indonesia menyatakan bahwa yang berhak dan boleh mengajar di lembaga pendidikan adalah alumni strata 1 (S1) dari fakultas atau jurusan pendidikan/tarbiyah. Aturan ini (saat itu) dinilai paling layak untuk diterapkan. Namun menimbulkan polemik, yakni banyaknya alumni S1 non Lembaga Pendidikan Tenaga Pendidikan (LPTK) yang tidak dapat mengembangkan dan menyalurkan ilmunya sekalipun memiliki kualitas bagus dalam bidang kelimuannya, sementara materi pelajaran dan kejuruan lembaga pendidikan di Indonesia sangat beragam memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat.
Hal ini jelas menimbulkan banyak problem, mulai dari pengangguran sampai hilangnya pengembangan ilmu. Alumni S1 komputer yang ahli di bidang Ilmu komputer misalnya, tidak akan dapat menjadi guru komputer selamanya karena bukan lulusan fakultas pendidikan. Alumni S1 hukum ataupun syariah yang ahli di bidang hukum umum ataupun hukum Islam tidak akan bisa menjadi guru hukum Islam karena bukan lulusan fakultas pendidikan. Begitu juga alumni fakultas lain yang non pendidikan. Padahal kejuruan bidang ilmu telah dilembagakan secara sah dalam berbagai SMK dan Program Studi yang ada di Perguruan Tinggi.
Jika alumni non pendidikan tidak boleh menjadi guru, maka otomatis SMK dan program studi Ilmu komputer tidak mungkin terwujud sebab tidak ada yang boleh menjadi pengajar. Begitu juga kejuruan lainnya. Padahal sebaliknya, tentunya tidak mungkin alumni fakultas pendidikan mengajar ilmu komputer, ilmu kedokteran, ilmu hukum, fiqh, tasawuf, hadits dan lain sebagainya karena mereka tidak menguasai ilmu tersebut. Konsekwensinya, SMK kejuruan dan prodi non pendidikan akan menjadi langka peminat, bahkan yang lebih berbahaya jika keilmuan tersebut akan sirna dari bumi Indonesia.
Problem tersebut akhirnya direspon pemerintah sehingga muncullah UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen. Pasal 9 UU tersebut membolehkan sarjana dari berbagai cabang ilmu mendaftar menjadi guru dengan berbagai ketentuan, misalnya Akta 4, PLPG, dan lain sebagainya yang sekarang diistilahkan dengan PPG (Pendidikan Profesi Guru). Dengan demikian, angin segar alumni S1 yang memiliki keahlian di bidangnya sealipun bukan alumni fakultas pendidikan dapat menjadi guru.
Namun diperbolehkannya sarjana non kependidikan bisa menjadi guru, dinilai sebagai bentuk diskriminasi oleh para sarjana lulusan kependidikan. Karena mahasiswa non kependidikan tidak mendapat bekal dan persiapan. Sementara sarjana kependidikan, sejak semester awal di bangku perkuliahan, telah dipersiapkan menjadi seorang guru. Oleh sebab itu Pasal 9 Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada 1 September 2012, yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 26 September 2012 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan dengan Nomor 336/PAN.MK/2012 dan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 95/PUU-X/2012 pada tanggal 26 September 2012, yang telah diperbaiki dan diterima di Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 17 Oktober.
Para mahasiswa yang mengajukan permohonan ini yaitu, Aris Winarto (Universitas Negeri Surabaya), Achmad Hawanto (Universitas Negeri Malang), Heryono (Universitas Kanjuruhan Malang), Mulyadi (STKIP PGRI Pacitan), Angga Damayanto (Universitas Negeri Jakarta), M Khoirur Rosyid (UIN Sunan Ampel Surabaya), dan Siswanto (STAI Raden Rahmat Malang). Mereka menyatakan bahwa Pasal ini bertentangan dengan pasal 28 h ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, mengenai jaminan dan perlindungan hukum yang diberikan oleh negara kepada setiap warga negara dengan dasar ada kekhususan.[1] Selain itu, Menurut pemohon, guru merupakan profesi yang harus ditempuh melalui jalur akademik khusus, yaitu kependidikan sehingga apabila pasal itu tetap diterapkan, maka akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi para sarjana lulusan kependidikan.[2]
Namun Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan sarjana non pendidikan bisa menjadi guru setelah menolak pengujian Pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2005 sebagaimana tertera dalam Putusan MK  NOMOR 95/PUU-X/2012. "Menyatakan menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Mahfud MD, saat membacakan amar putusan di Jakarta.
Dalam pertimbangannya, mahkamah menyatakan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang juga sebagai dasar pengujian dalam permohonan pengujian UU Guru dan Dosen menentukan, "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum."
"Kata setiap orang menunjukkan bahwa perlakuan yang sama di hadapan hukum, tidak hanya dikhususkan kepada mereka yang tamatan LPTK (lembaga Pendidikan Tenaga kependidikan)," kata hakim Konstitusi Muhammad Alim, saat membacakan pertimbangan hukum. Alim mengatakan bahwa setiap orang boleh diangkat menjadi guru, atau pekerjaan apa saja demi kehidupan yang layak bagi kemanusiaan asal memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. "Hal itu berarti bahwa selain persamaan hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, juga perlakuan yang sama di hadapan hukum," katanya.
Menurut Mahkamah, seseorang yang bukan lulusan LPTK tidak secara serta merta dapat menjadi guru jika tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas.  "Dengan demikian, posisi antara lulusan LPTK dan non-LPTK telah ekuivalen terkait dengan syarat-syarat tersebut, sehingga tidak terdapat perlakuan yang berbeda yang bertentangan dengan konstitusi," kata Alim. [3]
Dengan adanya putusan dari MK ini, maka seluruh alumni S1 berhak dan boleh untuk menjadi guru atu dosen, dan telah dilindungi oleh Undang-Undang, tentunya dengan proses harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) selama 6-12 bulan.


[1]http://www.jpnn.com/read/2012/10/19/143974/Dinilai-Diskriminatif,--Sarjana-Non-Kependidikan-Bisa-jadi-Guru-
[2]http://www.antaranews.com/berita/365865/mk-tegaskan-sarjana-non-pendidikan-bisa-jadi-guru
[3]Ibid.
Share this article :
 

+ comments + 9 comments

December 10, 2014 at 5:46 PM

nice info gan

Anonymous
June 30, 2015 at 10:08 AM

saya imam

Anonymous
June 30, 2015 at 10:11 AM

saya tertarik dengan materi mas dliya', saya minta nomor hp ms dliya. (imam mubarok salatiga) sms saya 085735181917 matursuwun. semoga manfaat ilmunya. amin.

July 11, 2018 at 9:54 PM

Terimakasih informasinya sangat berbobot.

July 17, 2018 at 6:21 PM

Terimakasih

July 17, 2018 at 6:21 PM

Terimakasih

October 14, 2018 at 7:21 AM

Alhamdulillah, info yang bermanfaat buat saya

November 24, 2018 at 10:44 PM

Terima kasih banyak atas informasinya kak

March 18, 2019 at 11:05 PM

Terimah kasih infonya

Post a Comment

Plagiasi adalah Dosa Besar Akademik. Silahkan Kutip isi blog ini dengan mencantumkan nama penulis dan alamat blog.
Terima Kasih Telah Mengakses FIQH REALITAS
By: Moh. Dliya`ul Chaq

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Fiqh Realitas - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger